JAKARTA – Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai presidential threshold dalam rencana RUU Pemilu terkesan dipaksakan. Menurutnya, presidential threshold terkesan sarat dengan kepentingan elite politik untuk memuluskan niatannya.

“Ini sangat inkonstutisional. Jika tetap dipaksakan tentu ini kepentingan elite. Entah untuk memuluskan jadi calon presiden, untuk mengurangi jumlah calon presiden, atau strategi lain. Ini produk undang-undang, tetapi produk politik jadinya,” katanya dalam Redbons Discussion bertema “Jalan Berliku RUU Pemilu 2019” di Kantor Redaksi Okezone, Jakarta, Kamis (13/7/2017).

Menurutnya, presidential threshold dapat menghambat pengambilan keputusan dalam RUU Pemilu hingga menyebabkan deadlock.

“Kenapa deadlock? Karena di lima paket yang belum selesai itu di presidential threshold. Ini kan bertumpu pada dua kutub polar. Karena satu ingin tanpa presidential threshold dan satu lagi ingin 20-25 persen dari suara sah nasional dan kursi. Di situlah tidak ada titik temu sehingga deadlock,” paparnya.

Kesulitan pengambilan keputusan RUU Pemilu juga dikarenakan adanya dua partai politik yang “berulah” demi kepentingan partainya sendiri.

“Ini memang karena ngototnya PDIP dan Golkar. Kepentingan apa di balik ngototnya kedua partai ini? Saya pikir ini kepentingan pilpres, bukan bagaimana menciptakan kualitas demokrasi yang baik, tetapi bagaimana mulus jadi presiden, bagaimana suaranya tumbuh dan kepentingan lainnya,” paparnya.

Ia melanjutkan, hal itu pun merugikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam tahapan penyelenggaraan pemilu mendatang.

“Terkesan dipaksakan, harusnya sudah selesai jadi tertunda. Akhirnya tahapan pemilu kita akan terganggu, juga kualitas demokrasinya. Bahkan jika presidential threshold ini tidak dicegah RUU Pemilu justru tidak menciptakan demokrasi yang baik,” tutupnya.

Leave a Reply