TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, dalam debat perdana calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono mampu menampik kebimbangan orang tentang kapasitas dalam penguasaan konten debat.

“Maklum latar belakang militer, habit-nya garis komando dan tak terbiasa berdebat, sulit dalam bicara di depan umum, namun ternyata dapat menguasai panggung, menghapus kecurigaan dan keraguan publik selama ini ke Agus. Wajar, ada beberapa kali diundang debat namun nggak pernah menghadirinya,” kata Pangi saat dikonfirmasi, Sabtu (14/1/2017).

Pangi menilai, debat semalam berlangsung dinamis ketiga calon saling beradu gagasan, awalnya berlangsung dua arus (polaritas bipolar) yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (petahana) melawan Anies Baswedan dan Agus, wajar karena Ahok sebagai incumbent.

“Ahok-Djarot tentu menang soal pengalaman dan enak memaparkan bentangan emperis kinerjanya, namun di sisi lain tentu kelemahan-kelemahan Ahok selama menjabat menjadi titik serang atau peluru yang ditembakkan Agus dan Anies,” tuturnya.

Menurut Pangi, pertahanan yang paling bagus itu menyerang, ibarat sepak bola, karena incumbent, Ahok seringkali diserang, namun semakin diserang semakin membahayakan lawan. Ia menilai, baju anti peluru Ahok lumayan menangkis peluru yang ditembakkan Agus dan Anies.

Namun setelah sesi 3, Ahok paling banyak menyerang dan terlihat emosional, namun debat di awal, Ahok tidak jadi dirinya sendiri, aslinya belum kelihatan, justru nampak tidak menguasai konten. Namun Ahok tampil memukau ketika dengan pola menyerang dan jadi asli dirinya.

“Dalam debat tersebut terjadi perang asimetris, dinamis dan saling lempar bola dan saling sindir ketiga calon, misalnya Ahok menyendir Mpok Sylvi saat bekerja dengan Foke, sedangkan Ahok disindir soal penggusuran, sementara Anies disindir Ahok soal kelemahan beliau berpikir sebagai dosen tapi bukan tataran kerja, hapalan dan hanya pintar retorika,” paparnya.

Pangi menyayangkan debat perdana DKI Jakarta yang diselenggarakan KPU, menjadi ajang saling serang simbol fisik, lebih ke personal misalnya kata-kata yang tidak tepat digunakan seperti akademisi, dosen, hapalan, hanya bisa retorika dan seterusnya.

Semestinya, kata Pangi dalam debat harusnya tetap pada koridor adu gagasan, program, jelajah eksplorasi lebih dalam pada visi-misi.

“Debat selanjutnya, KPU DKI harus mengingatkan kandidat agar tak ada lagi saling serang simbol fisik, karena bisa memecah,” ujarnya.

Leave a Reply