Komisi pemilihan umum akhir-akhir ini banyak menuai kecaman, rentetan peristiwa yang tidak mampu dikelola dengan baik dan komunikasi yang buruk adalah pokok persoalannya.

Sebagai penyelenggara pemilihan umum, KPU pada prinsipnya adalah lembaga independen yang diberi kewenangan penuh untuk menjalankan tugas tanpa intervensi dari pihak mana pun. Bahkan KPU punya kewenangan untuk membuat aturan sendiri melalui PKPU sebagai regulasi turunan dari undang-undang pemilu.

Selain itu, KPU juga punya tugas untuk melakukan komunikasi dan sosialisasi kepada publik dan peserta pemilu terkait semua kebijakannya sehingga publik dan peserta pemilu menjadi melek informasi pemilu itu sendiri.

Sosialisasi ini menjadi titik krusial yang dihadapi KPU saat ini, di mana rentetan peristiwa yang membuat panggung politik menjadi bising terkait banyak kebijakan KPU yang blunder dan menuai polemik.

Ada banyak peristiwa yang bisa kita urai di sini mulai dari persoalan DPT, E-KTP, Kotak suara kardus, pencoretan nama Bambang Widjojanto dan Adnan Topan Husodo dari daftar panelis debat capres, 7 kontainer surat suara tercoblos, batalkan pelaksanaan penyampaian visi-misi capres cawapres dan digantikan oleh aktor peran penganti (stuntman) tim sukses lalu kemudian dibatalkan dan santer terbaru soal bocoran pertanyaan debat (kisi kisi) yang akan diberikan sebelum debat.

Soal debat pertanyaan terbuka (pakai contekan), terus terang kita belum menemukan model debat pilpres di negara manapun pakai contekan atau kisi kisi, apakah itu negara maju atau negara berkembang. Kalau ada tunjukkan sama kita negara dan model debat pilpres di negara tersebut?

Kalau capres-cawapres yang meminta pertanyaan atau samacam contekan ke KPU, maka bisa jadi dua hal; Pertama, kualiatas capres yang ngak punya kapasitas dan kapabilitas. Kedua, mereka takut dipermalukan dan ngak mau wibawa mereka rusak pasca debat, ngak mau bedak wajah panggung depannya luntur.

Kalau pertanyaan debat sudah jelas dan ada bocorannya, kemudian jawabannya juga sudah disiapkan dengan matang dan sempurna sesuai pertanyaan, lalu pertanyaan sederhana untuk apa lagi gunanya debat? Sekelas cerdas cermat SD saja ngak ada kisi kisinya apalagi ini se-kelas debat capres-cawapres.

Ini yang barangkali menjadikan debat kita mundur ke belakang, ngak terjadi proses dealetika tesis-anti tesis dan sintesis, karena sudah di-desain, ada penulis skenario, sutradara, aktor sudah dikondisikan, jadilah debat cita rasa film sinetron, karena jalan pikirannya dan jalan cerita sudah bisa ditebak ujungnya, sekedar formalitas dan ngak ada kejutan lagi, karena otak capres tidak dibiarkan berpetualang dan liar, sesuai alur cerita saja, nanti jawabannya jangan-jangan seperti hafalan.

Kita akhirnya ngak tahu mana capres yang genuine dan mana capres yang dibedakin, kita hampir ngak bisa membedakan mana capres yang punya kepiawaian dan kemahiran dalam memimpin dan menyelesaikan problem fundamental bangsa mulai dari level hulu sampai level hilir.

Yang paling ditunggu-tunggu masyarakat adalah debat capres-cawapres, saling adu argumen, saling menyerang tanpa membunuh karakter pribadi dan adu data dan fakta, bahkan saling membantah dan menyalahkan karena diduga keliru cara mengelola negara selama ini. Tapi dengan pola debat ada kisi kisi alias contekan maka debat pilpres dipastikan tidak akan berjalan seru.

Bagaimana kita menjaga kualitas debat dan demokrasi kita. Kalau pertanyaan sudah dibuatkan, jangan-jangan KPU juga sudah menyiapkan jawabannya supaya ngak setengah setengah, sekalian saja, tanggung basah, demi menjaga martabat dan wibawa capres-cawapres.

Jika KPU mampu membangun komunikasi dan sosialisasi dengan baik dan efektif maka persoalan yang berujung polemik tersebut setidaknya bisa diredam dan diminimalisir. Sosialisasi visi dan misi ini menjadi penting agar publik tidak mendapatkan informasi yang keliru/ yang setengah tengah, disebabkan rasa penasaran dan provokasi dari pihak tertentu sementara informasi resmi dan akurat tidak kunjung didapatkan.

Rangkaian peristiwa di atas tidak akan membuat publik menjadi heboh jika KPU berada pada koridor/trayek yang benar dan melaksanakan fungsi dan kewenangannya sesuai dengan aturan yang berlaku.

Membaca konteks rangkaian peristiwa di atas, publik akan mempertanyakan jalan pikiran, posisi dan sikap KPU dalam beberapa aspek. Pertama, dalam hal netralitas KPU. Netralitas penyelenggara pemilu menjadi titik krusial dari rentetan peristiwa yang membuat publik layak curiga adanya pihak-pihak dan kekuatan politik tertentu yang menekan/ intervensi atau mempengaruhi penyelenggara pemilu untuk mengambil atau tidak terhadap kebijakan tertentu yang berpotensi merugikan peserta pemilu dan pemilih secara umum.

Netralitas penyelenggara pemilu tidak hanya cukup dengan ucapan dibibir semata, tapi KPU harus menyakinkan publik dengan langkah konkrit melalui kebijakan yang terlihat dan nyata. Dengan kata lain KPU tidak hanya dibutuhkan netral di tataran normatif tapi juga harus netral dari sikap dan tindakannya.

Kedua, akomodatif. Beberapa peristiwa juga menunjunjukkan KPU terlalu akomodatif dan kompromi dengan peserta pemilu, yang pada akhirnya mengurangi esensi dari proses politik itu sendiri. Dua peristiwa terbaru terkait debat dan pemaparan visi-misi misalnya KPU terlihat sangat akomodatif dan lebih mementingkan sikap masing-masing kubu terhadap paslonnya dari pada berpihak pada publik yang ingin mengetahui kualitas dan kapasitas kandidat secara utuh.

Saya ingin sampaikan begini, KPU terlalu membuka peluang, memberikan opsi, terlalu meng-akomodir, membuka kran ruang masuknya kepentingan peserta capres cawapres. Semestinya hal yang bersifat teknis saja yang diminta masukan dan melibatkan LO masing masing capres, tapi pada level tingkat kebijakan/formulasi, ngak boleh peserta pilpres terlalu dalam mencampuri soal model debat, mengotak-atik regulasi dan aturan main yang dibuat KPU, ini akar masalahnya. Peserta pilpres harus tunduk pada aturan main yang dibuat KPU.

Pembatalan sepihak penyampaian visi-misi dan bocoran pertanyaan debat membuat esensi dari tujuan dua agenda demokrasi ini jauh panggang dari api. Publik tidak akan mendapatkan informasi dan perspektif mendalam dan utuh dari kedua pasang paslon jika metode ini yang digunakan KPU.

Ketiga, reaksioner. Sikap reaksioner KPU juga terbaca dengan sangat jelas dari beberapa peristiwa. KPU tidak akan reaksioner jika sedari awal mereka melakukan tugasnya dengan baik. Setiap informasi yang berkaitan dengan kepemiluan dan tahapannya harus tersosialisasi dengan baik kepada publik.

Dengan cara ini publik akan mendapatkan informasi resmi sehingga simpang-siur inpormasi tidak akan terjadi dan KPU tidak perlu menjadi pemadam kebakaran.
Dan perlu diingat sikap reaksioner dalam tahap tertentu juga akan semakin memper tebal kecurigaan publik terhadap KPU.

KPU harus memberikan jawaban yang meyakinkan publik sehingga tidak terjadi mis-informasi yang berujung pada menurunnya kepercayaan publik (trust building) yang pada akhirnya akan mendeligitimasi hasil pemilu (menolak hasil pemilu) dan membaikot pemilu serentak pilpres dan pileg.

Debat sangat penting, apalagi debat sekelas capres dan cawapres sangat besar pengaruhnya, bisa menaikkan elektabilitas capres dan bisa juga menurunkan apabila blunder, menguliti kelemahan panggung depannya apabila memalukan penampilannya. Tapi kalau capres penampilannya memukau dan berkesan mahir dan piawai menjawab problem dan memberikan solusi maka bisa menaikkan elektabilitas.

Debat jelas bisa mengubah pilihan masyarakat. Debat pilpres bahkan bisa menentukan kemenangan. Pasca debat yang berkualitas biasanya bisa menurunkan angka undecided voter dan swing voter, pasca debat bisa melahirkan pemilih yang mantap dalam memilih (strong voter), memutuskan memilih satu capres. Oleh karena itu, sampai sekarang mereka belum menentukan pilihan karena masih menunggu/nunggu debat pilpres.

Oleh: PANGI SYARWI CHANIAGO
Pengamat Politik, Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
HP: 081266963506