JAKARTA, KOMPAS.com – Wacana mengembalikan pemilihan presiden dari langsung oleh masyarakat menjadi tidak langsung melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR) dinilai sebagai sebuah kemunduran demokrasi. Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, salah satu buah reformasi 1998 adalah perubahan mendasar dalam mekanisme sistem pemilihan presiden. Perubahan ini tidak terjadi begitu saja, melainkan berdasarkan pengalaman pahit di bawah rezim otoriter dengan legitimasi dari MPR yang menjadi lembaga tertinggi negara.

“MPR berubah wujud menjadi stempel kekuasaan dan di sisi lain presiden menjelma bagai dewa yang anti kritik, menjadi feodal seutuhnya, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri,” kata Pangi kepada Kompas.com, Jumat (29/11/2019). Baca juga: Soal Usulan Presiden Dipilih MPR, Golkar Nilai Perlu Masukan Masyarakat Ia mengatakan, transisi dari rezim otoriter ke era demokrasi memang tidak selalu berjalan mulus.

Namun, hal itu tidak bisa menjadi alasan untuk kembali ke cara pemilihan sebelumnya. Setiap persoalan pemilu yang terjadi harus diselesaikan dengan pemikiran jernih dan bukan reaksioner. “Sehingga melahirkan solusi jitu dan bukan dengan mengambil jalan pintas karena malas bersitegang dengan pikiran dan gagal dalam membangun dialektika berpikir,” ujar dia. Ia menyatakan, indikasi malas berpikir dan gagal berlogika itu terlihat ketika banyak pihak yang justru mengangkat persoalan politik berbiaya tinggi, politik uang dan keterbelahan publik yang melahirkan konflik, menjadi argumen utama dalam wacana mengganti sistem pilpres. “Lalu apakah dipikirkan soal konsekuensi atau mudarat dipilih MPR? Menggapa kita mudah lupa sejarah bagaimana instabilitas pemerintahan, di tengah jalan presiden sangat mudah dijatuhkan,” kata dia. “Jelas tidak sekuat legitimasi presiden dipilih langsung, tidak mudah menjatuhkan presiden di tengah jalan hanya karena soal like or dislike.

Dijatuhkannya Gus Dur di tengah jalan oleh MPR mestinya cukup menjadi pembelajaran penting bagi kita betapa rapuhnya legitimasi presiden dipilih melalui mekanisme MPR,” imbuh dia. Baca juga: Usulan Presiden Dipilih MPR Dinilai Menyalahkan Peran Rakyat dalam Demokrasi Sebelumnya, pimpinan MPR melakukan safari politik ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dalam kunjungan itu, menurut Ketua MPR Bambang Soesatyo, pihaknya banyak mendapat masukan terkait isu kebangsaan, salah satunya mengenai wacana pemilihan presiden dan wakil presiden secara tidak langsung. Kepada Bambang, PBNU mengusulkan agar presiden dan wakil presiden kembali dipilih oleh MPR.

Sementara itu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj mengatakan, usulan pemilihan presiden oleh MPR disampaikan setelah menimbang mudarat dan manfaat pilpres secara langsung. Pertimbangan itu tidak hanya dilakukan oleh pengurus PBNU saat ini, tetapi juga para pendahulu, seperti Rais Aam PBNU almarhum Sahal Mahfudz dan Mustofa Bisri. Selain mengusulkan pemilihan presiden dikembalikan ke MPR, PBNU juga usul supaya Pasal 33 UUD 1945 tentang pemerataan ekonomi dikaji kembali. Termasuk, PBNU mengusulkan supaya utusan golongan di parlemen dihidupkan kembali.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Wacana Presiden Dipilih MPR Dinilai Khianati Reformasi”, https://nasional.kompas.com/read/2019/11/29/11435741/wacana-presiden-dipilih-mpr-dinilai-khianati-reformasi?page=all.
Penulis : Dani Prabowo
Editor : Icha Rastika