Suarasurabaya.net Oesman Sapta Odang (Oso) terpilih sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), dalam Sidang Paripurna yang digelar Senin (3/4/2017) sampai Selasa (4/4/2017) dinihari.

Senator asal Provinsi Kalimantan Barat itu menjadi Pimpinan DPD bersama Nono Sampono dan Darmayanti Lubis, di sisa masa jabatan 2014-2019.

Terpilihnya Oesman Sapta yang juga Ketua Umum Partai Hanura, kontan menimbulkan reaksi publik. Meski terpilih secara aklamasi, dikhawatirkan ada konflik kepentingan partai politik dalam menjalankan perannya sebagai lembaga perwakilan daerah.

Menurut Pangi Syarwi Chaniago Direktur Eksekutif Voxpol, cara Oso melibatkan partai politik untuk mengangkat pamor DPD lebih banyak dampak negatifnya di mata publik.

“DPD lahir dari perdebatan panjang yang sebelumnya bernama Utusan Daerah. Artinya, senator harus mampu mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan daerah. Kalau anggota DPD juga anggota aktif parpol, apa yang membedakannya dengan DPR?” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Selasa (4/4/2017).

Dosen Ilmu Politik di UIN Jakarta ini menambahkan, bukan tidak mungkin ke depan ada benturan antara mendengarkan aspirasi daerah dengan aspirasi parpol.

Selain itu, dia mengatakan tidak ada jaminan Oso tetap memperjuangkan aspirasi daerah, karena di saat yang sama, Oesman Sapta juga ketua umum parpol.

“Yang ada sekarang, mencampuradukkan antara kepentingan daerah dengan politik. Salah satunya dengan mengajak anggota DPD bergabung sebagai anggota Partai Hanura. Jadi, politisasi DPD yang dilakukan Oso berbahaya,” imbuhnya.

Memang tidak ada regulasi yang melarang anggota DPD aktif sebagai anggota atau pengurus parpol. Tapi, hal itu akan jadi polemik karena di DPD juga ada berbagai faksi yang berafiliasi dengan parpol.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya melegitimasi UU 10/2008 tentang Pemilu yang menghilangkan syarat calon DPD adalah perseorangan yang mengundurkan diri dari parpol empat tahun sebelumnya.

Legalitas UU 10/2008 diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUUIV/ 2008 atas uji materiil Pasal 16 dan 67 Undang-Undang (UU) 10/2008 terhadap UUD NRI 1945.

Pangi melanjutkan, parpolisasi yang dimotori Oso berpotensi menimbulkan efek negatif. Salah satunya, dukungan publik terhadap DPD melemah.

“Kalau dulu, banyak yang mendukung kewenangan DPD diperkuat supaya bisa lebih konkret memperjuangkan kepentingan daerah. Sekarang, mungkin publik berpikir buat apa memperkuat DPD kalau cuma untuk kepentingan Oso dan Hanura,” lanjutnya.

Sebelumnya, sambung Pangi, ada tiga pilihan untuk DPD. Pertama, diperkuat kewenangannya sehingga manfaatnya betul-betul dirasakan publik. Yang kedua, tetap seperti sekarang, dan yang ketiga dibubarkan.

“Tapi, Apa yang dilakukan Oso kontraproduktif terhadap dukungan publik buat DPD. Orang-orang yang punya simbol di DPD tentu akan tersinggung dengan dominasi hegemoni Hanura yang dibawa Oso, apalagi setelah terpilih sebagai Ketua DPD,” ucapnya.

Dengan kondisi seperti itu, dia menilai DPD akan sulit membedakan mana aspirasi daerah, mana aspirasi parpol.

“Menurut saya, tidak perlu ada dua lembaga negara yang punya kemiripan. Tapi, kita lihat saja konsensus yang berkembang ke depan,” pungkasnya

Leave a Reply