Jakarta, 15 Maret 2017. Pengajuan hak angket (penyelidikan) kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-el) yang diwacanakan parlemen dinilai kurang tepat. Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Jakarta Pangi Syarwi Chaniago berpendapat, hak angket cenderung sebagai bentuk pembelaan DPR RI lantaran takut sejumlah elite parlemen yang diduga terlibat kasus diusut KPK.

“Saya kira kurang tepat karena ada kecenderungan lebih kental aroma membela diri ketimbang menyelidiki,” katanya kepada HARIAN NASIONAL, Rabu (15/3).

Kendati pengajuan hak angket guna mendapat informasi berimbang dan merupakan hak konstitusional DPR RI, tak serta merta diajukan dalam kondisi saat ini. Sikap parlemen justru mudah dibaca publik, karena seolah panik ketika komisi antirasuah tengah gencar mengusut sejumlah pihak yang moyoritas berasal dari kalangan politisi Senayan.

“Momentum pengajuan hak angket kurang pas. Memang hak angket sah digunakan DPR RI, namun yang terjadi belakangan ini lebih kental nuansa politisnya. Saya kira hak angket ini tidak serius hanya gaya-gayaan,” ujar Pangi.

Sebelum rencana pengajuan hak angket, DPR RI lewat Badan Keahlian Dewan (BKD) menggulirkan revisi UU KPK yang mengarah pada pelemahan KPK. Itu dimunculkan setelah sederat nama, termasuk Ketua DPR RI Setya Novanto disebut dalam sidang dakwaan dua mantan pejabat Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu.

Namun, KPK tak “goyang” dengan segala upaya parlemen yang bertujuan melamahkan komisi antirasuah melalui revisi UU KPK atau pengajuan hak angket. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, komisi antirasuah tetap berkomitmen mengungkap skandal korupsi KTP-el sebagaimana diurai JPU dalam persidangan. Dalam waktu dekat, kata Agus, KPK akan menetapkan tersangka baru.

“Setelah gelar ekspose, pasti ada tersangka baru,” kata Agus. Agus memastikan tidak ada kepentingan tertentu dalam pengungkapan kasus KTP-el seperti tudingan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Lantaran kasus ini merupakan perkara silam, KPK berjanji bakal menuntaskan hingga menjerat sejumlah aktor yang turut bermain di balik proyek senilai Rp 5,9 trilun itu.

“Kami berharap, Presiden Joko Widodo bisa rasional dan tak berpengaruh terhadap intervensi apa pun,” ujarnya.

Pengamat Setara Institute Hendardi mendorong Presiden Joko Widodo turun tangan mendukung penegakan hukum yang dilakukan KPK. Komisi antirasuah, kata dia, butuh dukungan menghadapi upaya pelemahan yang terus digencarkan DPR RI. “Presiden punya kewenangan mendorong partai pendukung pemerintah menolak revisi UU KPK dan pengguliran hak angket,” kata Hendardi.

Sebelumnya, Fahri Hamzah meminta pemerintah mendorong dan mendukung penggunaan hak angket bagi anggota DPR RI untuk menyelidiki kasus KTP-el. Tujuannya agar ditemukan kejelasan mengenai kasus KTP-el, terutama yang mengaitkan anggota dewan. Namun, sejumlah fraksi di parlemen tak satu suara dengan Fahri. Sebagian ada yang menolak, ada juga yang mendukung.

Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan Emrush Sihombing menilai, konsep berpikir DPR RI tidak jelas. Seharusnya, jika ingin mengontrol pengusutan kasus KTP-el oleh KPK bisa melalui Komisi III, bukan melakukan upaya pelemahan. Jika dalam pengusutan ada kejanggalan, DPR RI baru bisa memanggil pimpinan KPK untuk memberi penjelasan.

Leave a Reply